Dibalik Demo 4 November; Dugaan Penunggan Gelap, Penistaan Agama dan Kemarahan
Gubernur DKI Jakarta Basuki "Ahok" Tjahaja Purnama mungkin tidak menyangka jika ucapannya tentang surah Al-Maidah ayat 51 akan berbuntut panjang. Besok, ribuan orang dari berbagai organisasi masyarakat (ormas) Islam akan menggelar aksi besar-besaran di depan Istana Negara.
Unjuk rasa ini merupakan yang kedua kalinya setelah 14 Oktober 2016 lalu, masih mempermasalahkan dugaan penistaan agama oleh kandidat gubernur petahana DKI Jakarta tersebut. Meski demikian, dampak yang ditimbulkan sangat jauh berbeda.
Kali ini, pejabat politik tampak turun tangan untuk meredam. Presiden Joko Widodo menemui Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto, juga memanggil ulama dari Muhammadiyah, Nahdatul Ulama, dan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Tak hanya itu, Wakil Presiden Jusuf Kalla juga membahas hal tersebut dengan mantan Presiden Susilo Bambang Yudhyono.
Penunggang gelap
Sejak awal, kecurigaan kalau aksi ini bukan hanya sekedar mempermasalahkan Ahok sudah merebak. Diduga, ada pihak tertentu yang memanfaatkan gerakan ini untuk tujuan lain.
Salah satunya adalah Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo. "Kalau ada oknum yang ingin membangun sebuah negara baru, ideologi baru, atau ingin menjadi presiden, silakan tunggu mekanisme lima tahunan yang sudah ada (pemilu)," kata dia.
Pendapat ini juga didengungkan oleh Kepala Pusat Penerangan TNI Brigjen Wuryanto, bahkan mengibaratkannya seperti gerakan Arab Spring, di mana ada upaya penggulingan kekuasaan.
Bahkan, Direktur the Institute for Policy Analysis of Conflict Sidney Jones mengatakan pendukung kelompok militan akan turut serta dalam aksi tersebut. Hal ini diungkapkan dalam tulisannya berjudulWhy Indonesia Extremists are Gaining Ground.
Pada 29 Oktober lalu juga tersebar foto-foto anggota Front Kemenangan Suriah (Syria's Victory Front atau Jabhat Fatah al-Sham) bersenjata lengkap dengan tulisan'Tangkap Ahok atau Peti Mati Ahok'.Kelompok itu sebelumnya dikenal sebagai al-Nusra Front.
Kalau melihat fakta tersebut, gerakan 4 November nanti memang berpotensi ditunggangi oleh kelompok-kelompok garis keras," tulisnya.
Kelompok yang juga dikenal sebagai Al Nusra ini berkaitan dengan tokoh bernama Abu Jibril. Putra yang bersangkutan sendiri telah tewas di Suriah sebagai bagian dari kelompok teroris Al Qaeda.
"Saya heran heran untuk apa mereka kemudian memperhatikan Ahok dan Pilkada DKI. Apakah ini seruan atau perintah kepada pengikutnya untuk berjihad di seluruh pelosok Indonesia," kata dia.
Luapan kemarahan
Meski demikian, Peneliti dari Pusat Studi Asia Murdoch University Ian Wilson mengatakan ada penyebab lain. "Kita harus mempertimbangkan konteks lain. Sejak menjadi gubernur pada tahun 2014, Ahok sudah menjalankan kampanye penggusuran dan relokasi paling agresifsepanjang sejarah modern kota Jakarta," kata dia dalam tulisan berjudul Making Enemies Friends.
Semenjak berkuasa, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta mencatat ada 113 kasus penggusuran, yang merugikan 8315 kepala keluarga dan 600 unit usaha. Memang kebijakan ini populer di kalangan kelas menengah sebagai upaya menjegal masalah berkepanjangan seperti banjir, macet, dan ketiadaan hukum.
Namun, tidak demikian bagi mereka yang menjadi korban. Kemarahan mereka inilah yang kemudian menemukan wadah dari aksi unjuk rasa yang digalang ormas.
Wilson mencontohkan pada Juni lalu, Ahok sempat dilempari batu oleh sekelompok demonstran yang meneriakkan 'Allahu Akbar,' namun ternyata mereka bukan dari kaum radikal. Para pelempar batu yang masih berusia remaja ini mengaku marah karena teman dan tetangga mereka kehilangan rumah akibat penggusuran.
"Saya ikut (melempar batu dan demo) karena setengah dari kelas saya jadi tidak punya rumah karena Ahok. Dia tidak diterima di sini," kata salah satu demonstran pada Winson.
Ia juga mencatat kalau para demonstran yang kelak akan beraksi di bawah panji FPI dan ormas lainnya merupakan pendukung Ahok. Semuanya berubah sejak penggusuran paksa.
"Sejak naiknya Jokowi, kaum intelek publik dan aktivis kelas menengah telah mengesampingkan perjuangan kaum miskin kota. Kelompok agama aliran utama seperti NU juga tetap diam, ketika anggota mereka di Jakarta Utara terkena gusur," kata Wilson.
Isu penggusuran, ditambah lagi dengan gosip adanya keterlibatan pengembang Tionghoa dibelakangnya, menyuburkan kemarahan yang terpendam. Dugaan penistaan agama lewat pidato kunjungan kerja di Kepulauan Seribu pada September lalu, adalah saat api mencapai ujung sumbu.
"Dengan tidak adanya pengarahan koheren terhadap mereka yang dimarjinalkan oleh kebijakan Ahok, maka pintu terbuka bagi kaum radikal. Dan mereka memanfaatkan kesempatan ini," kata dia.
Keterlambatan pemerintah
Sebenarnya, demonstrasi dengan mendompleng isu agama sudah bukan hal yang baru. FPI telah lama terkenal dengan aksi mereka menegakkan 'hukum' ala mereka sendiri, yang tentu berbasis agama.
Namun, kemarahan mereka terhadap Ahok yang diduga menistakan agama, bukannya dapat dikesampingkan begitu saja. "Aksi 4 November tidak akan terjadi kalau Ahok diproses hukum sejak dilaporkan ke Bareskrim," kata Pengamat Politik Pangi Syarwi Chaniago.
Demo ini, lanjutnya, menjadi ujian bagi pemerintah. Bisakah memperlakukan warganya sama, bukan ada yang tidak tersentuh hukum.
Menurut Pangi, jika penegakan hukum terhadap Ahok tak terlaksana, lembaga peradilan menjadi kehilangan wibawa karena masyarakat mulai tak percaya pada lembaga peradilan yang tidak independen.
Tentu saja hal ini tidak hanya berlaku bagi Ahok; juga bagi para peserta demo, bila ada yang ditemukan melanggar hukum.
Peristiwa ini bisa menjadi pelajaran bagi pemerintah ke depannya, untuk tidak melulu membenarkan atau membiarkan masalah yang berlarut-larut hingga akhirnya meledak